Kampung Kauman Tempo Dulu



Kampung Kauman yang ada di Kota Surakarta, memiliki cerita tersendiri, yang sejarah kelahirannya mempunyai kisah yang panjang. Nama Kauman memiliki keterkaitan dengan keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta. Berdiri seumur dengan di bangunnya Masjid Agung Surakarta oleh PB III th 1757 M. Masjid ini dibangun oleh raja sebagai bentuk kewajiban raja dalam memimpin rakyatnya dimana raja sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah, yang berarti raja selain menjadi pemimpin negara (kerajaan ) raja juga sebagai pemimpin agama agar rakyat dapat hidup damai dan sejahtera.

Kampung Kauman dikenal juga sebagai kampung santri. Keberadaannyapun dikehendaki oleh raja sebagai tempat domisili para abdi dalem pamethakan dan sebagai pusat dakwah/syiar Islam. Kampung Kauman mempunyai hukum laturan khusus yang ditetapkan oleh raja. Sebagaimana yang tersebut dalam Naskah no 86 b berupa Undang-undang bagi para buruh dan Pangindhung yang tinggal di tanah Pakauman Surakarta untuk tidak berbuat maksiat dan membunyikan gamelan pada saat hajatan. Peraturan ini dikeluarkan oleh Paku Buwana VII yang ditujukan kepada Penghulu sebagai orang yang dipercaya untuk melaksanakan hukum Islam di Kauman.



Solo (resminya Surakarta) dibangun pada tahun 1745, dimulai dengan pembangunan Keraton Kasunanan sebagai ganti ibu kota Kerajaan Mataram di Kartasura yang hancur akibat pemberontakan orang-orang Cina melawan kekuasaan Susuhunan Paku Buwono II yang bertakhta di Kartasura (dikenal dengan Geger Pacinan) pada tahun 1742. Begitu hebatnya pemberontakan ini, sehingga Keraton Kartasura hancur dan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur Kota. Berkat bantuan VOC, pemberontakan dapat ditumpas dan Kartasura direbut kembali, tapi bangunan kraton sudah hancur.
Kemudian dibangunlah keraton baru di Solo, 20 km ke arah selatan-timur dari Kartasura, pada 1745. Disusul kemudian lahirnya Perjanjian Giyanti (1755), yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dengan rajanya Paku Buwono II, dan Kasultanan Jogjakarta dengan rajanya Hamengku Buwono (HB) I. Keraton dan kota Jogjakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan kota Solo yang lebih dulu dibangun. Pada tahun 1757, dua tahun setelah Perundingan Gijanti, Kerajaan Surakarta terbagi lagi setelah Raden Mas Said memberontak dan akhirnya atas dukungan Susuhunan lahirlah Perjanjian Salatiga yang isinya Pangeran Raden Mas Said diperkenankan mendirikan kerajaan sendiri, dengan nama Pura Mangkunegaran.
Kauman, yang begitu dikenal oleh hampir seluruh masyarakat jawa, sebagai nama kampung yang terletak di tengah-tengah kota, berdekatan dengan Masjid Agung dan Alun-alun Keraton atau Alun-alun Kabupaten. Hampir di setiap Kabupaten atau Kotamadya di Propinsi jawa Tengah dan sebagian jawa Timur terdapat nama Kampung Kauman.
Namun Kampung Kauman yang ada di Kota Surakarta, memiliki cerita tersendiri, yang sejarah kelahirannya mempunyai kisah yang panjang. Nama Kauman memiliki keterkaitan dengan keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta. Berdiri seumur dengan di bangunnya Masjid Agung Surakarta oleh PB III th 1757 M. Masjid ini dibangun oleh raja sebagai bentuk kewajiban raja dalam memimpin rakyatnya dimana raja sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah, yang berarti raja selain menjadi pemimpin negara (kerajaan ) raja juga sebagai pemimpin agama agar rakyat dapat hidup damai dan sejahtera.
Setelah Masjid berdiri, maka berfungsilah masjid tersebut sebagai  pusat dakwah Islam bagi Keraton Kasunanan Surakarta. Karena Kerajaan Surakarta adalah kelanjutan dari kerajaan Mataram Islam, yang diawali dari  Kerajaan Islam Demak, kemudian pindah ke Kerajaan Pajang, Mataram Islam (Sultan Agung), Kerajaan Kartasura dan yang terakhir kerajaan Surakarta Hadiningrat. Dimana untuk melaksanakan tugas raja sebagai Saffidin Panatagama Khalifatullah ini, maka raja mengangkat dan menempatkan seorang Penghulu (seorang ahli dibidang agama sekaligus penasehat raja) di Masjid tersebut. Dan Penghulu juga diberi hak pakai atas sebidang tanah yang terletak di sebelah utara Masjid.
Kauman adalah sebuah nama sebuah kampung di kota Surakarta yang memiliki ciri-ciri khusus. Ciri-ciri khusus ini nampak dalam kehidupan masyarakatnya, pergeseran dan perubahan sosial yang terjadi didalamnya. Kauman berasal dari kata “qoum” yang berarti komunitas. Komunitas atau masyarakatKauman merupakan masyarakat yang anggotanya masih mempuinyai pertalian darah. Bentuk masyarakat eperti itu mempunyai ikatan yang erat dan tertutup sehingga setiap warga harus menegakkan ikatan  baik dalam upacara-upacara perkawinan maupun dalam upacara keagamaan.


SEJARAH KAMPUNG KAUMAN


Kampung Kauman mempunyai reputasi histories sebagai perkampungan Islam sejak masa-masa kebangkitan awal Keraton Surakarta, yaitu sebagi komunitas pejabat keagamaan Islam kerajaan. Mereka yang berdomisili adalah para abdi dalem yang bertugas mengawasi dan melaksanakan hukum-hukum dan praktek-praktek peribadatan Islam kerajaan. Dalam birokrasi kerjaan Surakarta, kalangan abdi dalem ini dinamakan abdi dalem pamethakan.
Lahirnya kampung Kauman dimulai dengan adanya penempatan abdi dalem pamethakan yang bertugas dalam bidang keagamaan dan kemasjidan yaitu Kanjeng Kyai Penghulu Mohammad Thohar hadiningrat (Penghulu dalem ing keraton dolem Surakarta), yang bermukim di sekitar masjid Agung. Penghulu membawahi tanah disekitar masjid yang warganya terdiri dari abdi dalem pamethakan danulama sebagai pembantulmewakili tugas Penghulu apabila Penghulu berhalangan. Tanah yang beliau tempati adalah pemberian dari Sunan PB III dengan status tanah anggaduh.Yang berarti  hanya berhak   menempati  atau  nglungguhi dan  tidak  punya hak  milik. Oleh keraton, tanah yang ditempati penghulu dan para abdi dalem mutihan  tersebut diberi nama Perkauman. artinya tanah tempat tinggal para kaum, dan menjadi Kauman. Seperti yang dijelaskan oleh RM Sajid dalam kutipan Babad Sala hal. 42: “Panggenahing   abdi dalem ngulama, saking pangkat bupati sak andhahanipun sadaya, dumugi kaum, naminipun kampung kauman.”Penghulu, dalam bidang kemasjidan, khususnya di Masjid Agung, dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh para ahli agama yang terdiri dari :
  1. Ketib / Khotib, yaitu ulama yang bertugas memberikan khotbah pada saat sholat jumat dan sebagai Imam sholat rowatib.
  2. Modin, yaitu orang yang bertugas memukul bedhug atau kenthongan saat tanda waktu sholat wajib telah tiba, kemudian mengumandangkan adzan. Namun dalm kehidupan sehari-hari modin juga melaksanakan tugas untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan dan kematian. memberikan doa dalam acara selamatan, memandikan jenasah dsb.
  3. Qoyyim, yaitu orang yang bertugas membantu tugas dan pekerjaan modin.
  4. Merbot, yaitu orang yang bertugas sebagai juru bersih dan mengelola fisik Masjid, seperti menyediakan air, tikar dan alat-alat perkakas masjid.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan kampung Kauman itu ada karena memang dikehendaki oleh keraton sebagai bagian dari 4 komponen pola kota pemerintahan kerajaan Mataram Islam yang terdiri dari Keraton, Alun-afun, Masjid dan pasar. Dan para abdi dalem pamethakan inilah yang mencitrakan
kauman sebagai kampung yang didominasi oleh para Priyayi dan golongan Ulama atau Santri yang ditempatkan oleh pihak kerajaan (atas kehendak raja) yang mengemban tugas mulia untuk “meng-islamkan" masyarakat. Mereka menempati tanah disekitar Masjid Kerajaan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa sebelum ditempatkannya para abdi dalem mudhan oleh raja pada tanah yang berada di sekitar Masjid tersebut, telah ada terlebih dahulu orang-orang yang sudah bertempat tinggal di daerah tersebut.
B. Nama-Nama Kampung di Kauman
Sebutan nama-nama kampung yang ada di Kauman seperti sekarang ini adalah mengikuti dari nama-nama tokoh atau ulama, jenis pekerjaan yang digeluti oleh warganya, nama jabatan atau nama dari kebiasaan warga setempat.Adapun nama-nama kampung yang ada di Kauman adalah :
1.      Nama kampung berdasar nama tokoh ulama.
a.       Pengulon, nama ini diambil dari wilayah tanah yang ditempati oieh Penghulu Tabsir Anom di sebelah utara masjid.
b.      Tebanomon, yaitu nama Wilayah tanah yang ditempati oleh Ketib Anom.Terletak di J1. Cakra 1.
c.       Cendanan, yaitu dulunya di tempat itu pernah didiami oleh Ketib Cendana.Terletak di J1. Cakra 1, sebelah barat rumah Ketib Anom
d.      Trayeman, nama ini diambil dari  nama Ketib Trayern yang pernah berdiam di daerah tersebut.Yaitu di Jl.. Cakra sebelah barat.
e.       Winongan, Dulunya pernah tinggal Ketib Winong di daerah tersebut, yaitu di Jl.. Cakra sebelah timurnya Trayeman.
f.       Sememen, diambil dari nama Ketib Sememi, yang mempunyai tempat tinggal di daerah tersebut (sekarang menjadi  gedung NDM Mualimat)
2.      Nama Kampung berdasar nama abdi dalem keraton yang pernah tinggal di daerah tersebut.
a.       Kartoikaran, sebenarnya ini bukan nama kampung, tetapi nama pemilik rumah yaitu seorang abdi dalem keraton yang bernama R. Ng. Karto Wikoro. Beliau memiliki rumah dan halaman yang besar, dan banyak orang yang mager sari di rumah tersebut.Warga menamainya dengan sebutan Kartoikaran.Terietak di JIMijaya Kusuma sebelah selatan.
b.      Kecitran, ini juga bukan nama kampung, tetapi adalah nama abdi dalem yaitu R.Ng. Citro Puspito yang memiliki tempat tinggal di Jl. Kalimasodo 1 (gang kecil di sebelah barat BCA).
c.       Suto Menggalan, dulunya pernah di tempati oleh abdi dalem yang bernama R. Ng. Suto Menggolo, yang terletak di Jl. Trisula bagian timur Beliau adalah abdi dalem yang bertugas sebagai pawang 1 srati kerbau Kyai Slamet milik keraton.
3.      Nama Kampung berdasar jenis pekerjaan yang digeluti oleh warga disekitarnya.
a.       Gerjen (dibaca nggerjen), dinamakan gerjen karena sebagian besar dari warga yang bertempat tinggal di daerah ini adalah sebagai gerji (tukang jahit ). Kampung gerjen bera da di sekitar J1. Cakra 11 bagian barat.
b.      Blodiron (dibaca mblodiran), ini bukan nama kampung tetapi disitu pernah tinggal seorang abdi dalem yang bekerja sebagai tukang bordir dari keraton.Warga menyebutnya blodiran.Terletak di sebelah selatan gerjen.
c.       Kentiran, sebabnya warga di daerah tersebut memiliki pekerjaan sebagai tukang membuat samir, yaitu semacam selendang kecil  yang dikalungkan di leher. Dipakai oleh masyarakat awam/abdi dalem apabila berkunjung atau memasuki keraton.Terletak di sebelah timur blodiran.
d.      Baladan (dibaca mbaladan), warga setempat memiliki pekerjaan sebagai tukang membuat aneka kue jajanan. Kampung ini terletak di sebelah barat sekolah Mambaul Ulum.
e.       Gebangsan (dibaca nggebangsan), pekerjaan warga di daerah ini adalah sebagai tukang membuat kuluk pengantin pria. Gebangsan terletak di sebelah barat blodiran.
4.      Nama Kampung dilihat dari bentuk fisik bagunan.
Gedang Selirang (dibaca nggedang selirang), dulunya adalah rumah dinas para marbot masjid agung. Terdiri dari beberapa rumah kecil yang menempel pada sisi bagian dalam dinding pagar masjid agung. Terletak di kornplek Masjid Agung bagian utam Karena bentuk atap pada kornplek bangunan ini dulunya hanya terdiri dari 1 (satu) trap menyerupai pisang selirang (satu sisir), tetapi oleh pengurus masjid, bangunan ini telah direhap menjadi bangunan permanen.
5.      Nama Tempat dilihat dari fungsi bangunan, yaitu
Berasan (dibaca mberasan), ini bukan nama kampung, tetapi nama rumah yang pernah digunakan oleh kanjeng penghulu sebagai gudang beras. Terletak di sebelah selatan rumah kanjeng penghulu.
6.      Nama kampung dilihat  dari kebiasaan warga setempat.
Keplekan, inilah nama yang paling unik di daerah   Kauman. Meskipun berada di kauman, namun didaerah ini, konon pada jaman dahulu sering dipakai untuk bermain kartu (keplek). Pendapat lain mengatakan bahwa pada jaman dahulu, tempat ini sering dipakai untuk beradu fisik (pencak silat) yang dalam bahasa awam adalah tempat untuk "ngeplekke" atau membanting lawan. Terletak di sebelah timur kalurahan Kauman.
7.      Nama kampung yang tidak dikategorikan, yaitu
a. Gontoran
b. Kambyahan
Kampung Kauman dikenal juga sebagai kampung santri. Keberadaannyapun dikehendaki oleh raja sebagai tempat domisili para abdi dalem pamethakan dan sebagai pusat dakwah/syiar Islam. Kampung Kauman mempunyai hukum laturan khusus yang ditetapkan oleh raja. Sebagaimana yang tersebut dalam Naskah no 86 b berupa Undang-undang bagi para buruh dan Pangindhung yang tinggal di tanah Pakauman Surakarta untuk tidak berbuat maksiat dan membunyikan gamelan pada saat hajatan. Peraturan ini dikeluarkan oleh Paku Buwana VII yang ditujukan kepada Penghulu sebagai orang yang dipercaya untuk melaksanakan hukum Islam di Kauman.
Peringatan Surat Perintah Undang-undang Kanjeng Raden Adipati Sasradiningrat diketahui oteh Kanjeng Tuan Meester Baron de Geer di Surakarta Hadiningrat, atas perintah Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan, memerintahkan kepada semua orang yang bekerja atau pangindhung yang tinggal di tanah Pakauman yang termasuk wilayah Pakauman.
Bab 1
Aku memberitahu kepada kalian semua, bahwa aku menerima permintaan  Mas Pangulu Tapsir Anom dan temannya Ulama beserta semua Ketib. Modin, bahwa sekarang tata cara orang yang tinggal di tanah Pakauman diminta dibuat seperti waktu Ingkang Susuhunan Paku Buwana R supaya jangan ada orang yang melakukan perbuatan maksiat, hat itu sudah aku sampaikan kepada Ingkang Sinuhun, belau sudah mengizinkan.
Bab 2
Semua orang yang bertempat tinggal di dalam Pakauman, mulai sekarang jangan ada yang berani melakukan perbuatan maksiat, seperd: menanggap dedek, wayang kulit dan membunyikan gamelan tanpa ada alasannya, demikian juga minum arak, berjudi dan sebagainya, semua perbuatan yang bernama kemaksiatan, seperti kebiasaan yang dijalankan dahulu.
Bab 3
Adapun yang aku perbolehkan membunyikan gamelan adalah apabila mempunyai hajat pemikahan, mempunyai anak, tingkeban, dan khitanan. selain dari itu tidak aku perbolehkan, apabila ada orang yang berani melanggar perintah seperti yang sudah aku larang pasti akan aku hukum di Surambi selama 40 hari, dan aku suruh memmbersihkan  halaman masjid Agung.
Bab 4
Adapun apabila ada yang berani melanggar dua kali, siapapun orangnya harus segera diusir dari rumahnya di Pakauman, apabila memaksa tidak mau pindah ke daerah lain, pasti akan aku hukum di penjara, tidak aku bebaskan apabila rumahnya belum dipindahkan, karena orang itu aku anggap sebagai orang yang berani merusak agama Rosul.
Bab 5
Untuk itu perintahku kepada semua orang yang tinggal di daerah Pakauman, semua harus menjauhi larangan agama Rosul, jangan sampai ada yang melakukan perbuatan maksiat tadi, harus mentaati semua isi Surat Undang-Undang ini, siapapun yang tidak mentaati, pasti akan mendapat hukuman dari Kanjeng Parentah Gedhe.
Bab 6
Adapun Surat Perintah Undang-Undangku ini kemudian menjadi simpan Mas Panghulu Tapsir Anom dan semua temannya Ulama, Ketib. Modin, dijadikan satu dengan gadhuhan-mu Surat Plakat, supaya apabila suatu saat ada yang melakukan perbuatan maksiat, Mas Pangulu dapat segera memberitahu kepada pemerintah kemudian diserahkan kepada Ingakang Sinuhun Kanieng Susuhunan.
Surat Perintah Undang-Undangku pada hari Senin tanggal 22 bulan Sura tahun Wawu tahun 1777 (S. Margana, Kraton Surckarta danYogyokarto 1769-1874). Adanya peraturan tersebut, menjadikan kehidupan di kampung Kauman pada masa itu lebih relijius dibandingkan  dengan kampung lain.
Kampung Kauman ialah sebuah kampung yang dipenuhi beragam gaya seni bina rumah gedongan, dan memiliki ciri khas tertentu dengan model rumah gaya campuran Eropah-Jawa-Cina, dengan hiasan ukiran-ukiran pada dinding kayunya. Pada awalnya, Kampung Kauman yang berada di sisi barat depan Keraton Kasunanan ini diperuntukkan untuk tempat tinggal (kaum) ulama kerajaan dan keluarganya. Oleh sebab itu nama-nama gang di Kampung Kauman masih dilestarikan sampai sekarang al: pengulon (dari kata penghulu keraton/masjid agung), Trayeman, Sememen, Kinongan, Modinan, Gontoran, Letaknya berdekatan dengan Masjid Agung keraton, di sisi barat alun-alun utara. Tapi pada perkembangannya, Kampung Kauman mirip dengan kawasan Laweyan.
Di samping itu yang perlu diingat juga bahawa di lingkungan Masjid Agung Surakarta dahulu berdiri madrasah tertua di pulau Jawa " Mamba'ul Ulum" di mana para bekas murid-muridnya telah banyak mewarnai khasanah dunia pendidikan Islam di Indonesia. Mamba'ul Ulum ini didirikan oleh Susuhunan Pakoe Boewono raja Surakarta pada waktu itu. Dan Seiring dengan ini di Jamsaren juga terdapat sekolah agama berasrama tertua di Pulau Jawa yang didirikan atas restu Sri Susuhunan Pakoe Boewono Raja Surakarta Hadiningrat. Pada saat itu pertama kali yang diberikan kebenaran untuk mengasuh Sekolah Agama Berasrama Jamsaren adalah Kyai Djamsari, dan dilanjutkan oleh penerus-penerusnya al:RMKH.Moh.Idris, KH.Abu Ammar dst. yang memiliki mata rantai terhadap alur sejarah perkembangan Kampung Kauman tempo dulu.
Di Kampung Kauman banyak tumbuh produsen dan pedagang batik yang berjaya, ini tidak kalah kejayaannya dibandingkan dengan keluarga-keluarga saudagar di kampung Laweyan. Dan mereka juga berlumba membangun rumah mewah di perkampungan yang padat itu. Nama-nama bekas pengusaha batik yang berjaya dari kauman Solo antara lain adalah: Haji Abdul Fattah, Kyai Haji Kholil,Haji Abu Amar, KHM.Billal, H.Masngadi Ahmad Kroya, HM.Saleh Syaibani dll. Dan saat ini masih ada yang melanjutkan sebagai generasi penerus pengusaha batik di kauman, seperti Perusahaan Batik Gunawan Setiawan, adalah salah satu cicit dari keluarga haji Abu Amar. Dengan adanya perkembangan pengusaha batik di daerah Kauman, akibatnya, Kauman menjadi penuh dengan berbagai rumah gedongan yang berdesakkan, dan menyisakan gang yang sangat sempit bagi pejalan kaki.
Apabila Kauman terletak di sisi barat depan alun-alun utara, di sisi timurnya terletak perkampungan Pasar Kliwon, kawasan permukiman warga keturunan Arab. Di Surakarta, warga keturunan Arab biasa dipanggil Encik. Banyak warganegara Arab yang kejayaan dalam melakukan usahanya seperti: sebagai pengusaha batik cap, pengusaha tenun, serta berdagang batik, sehingga kawasan ini juga dipenuhi dengan rumah gedongan yang juga memiliki ciri seni bina khas sendiri
Agak ke utara, di sekitar Pasar Gede Harjonagoro (salah satu warisan monumental Pakubuwana X, dirancang oleh arkitek Thomas Karsten, 1930) terletak kawasan perdagangan Balong. Kawasan ini merupakan konsentrasi permukiman warga Tionghoa yang kebanyakan mereka bekerja sebagai pedagang. Sebagai Pecinan, kawasan ini memiliki banyak bangunan dengan seni bina Tionghoa.
Laweyan, Kauman, Balong, atau Pasar Kliwon bukanlah sekadar kawasan dengan sekumpulan gedung tua, tapi jejak sejarah perkembangan arsitektur khas dengan warna arsitektur dan latar belakang sosiologinya. Di situ biasa kita temui berbagai gedung dengan gaya seni bina Jawa, Eropah, India, Art Deco, Tionghoa, hingga Timur Tengah yang sebagian besar telah mengalami amalgam atau percampuran dengan unsur-unsur kebudayaan tempatan (misalnya hiasan gaya Eropah denah Jawa, keberandaan veranda pada bangunan gaya kolonial yang merupakan adaptasi bangunan terhadap iklim tropik) yang secara tidak langsung menggambarkan adaptasi, kombinasi, ataupun imitasi dari kebudayaan yang arah aliran masa itu.
PENUTUP
Sebagai suatu kawasan Kauman adalah salah satu kampung tua di kota Surakarta., dimana keberadaanya tak lepas dari kebijakan keraton. Kampung Kauman Surakarta pada daarnya menampilkan pola integrasi antara budaya Jawa dan norma-norma Islam berdaarkan Ak-Qur’an dan Al Hadist. Kedua pola ini berjalaan sejajar untuk saling mengisi baik melalui proses aimilai maupun proses akulturasi. Inilah yang menjadikan Kauman mempunyai karakteristik tersendiri, sebagai tempat tinggal abdi dalem pamethakan yang terdiri dari Penghulu, Khotib, Ulama, serta Modin, menghadirkan Kauman sebagai kampung para Santri dan Priyayi (pejabat kerajaan). Bahkan pranata sosial yang di berlakukan oleh keratonpun disesuaikan dengan keberadaan Kauman sebagai pusat dakwah Islam, disinilah raja menerapkan syari'at Islam untuk rakyatnya.
Sejak awal berdirinya Kampung Kauman pada abad XVIII, mayarakat Kauman telah mengamalkan ajaran islam ecara tradisional yaitu menjalankan kehidupan beragama berdasarkan kitab-kitab karangan para ulama. Mereka mengamalkan upacara-upacara ritual ajaran para ulam  tradisional seperti khoul, tahlilan, dan sebagainya. Masyarakat Kauman juga mempunyai kebiasaan untuk menjalankan agama secara sinkretis. Masyarakat kampung Kauman yang sebagian besarmenjadi Abdi Dalem Pamethakan menampakkan dirinya sebagai komunitas muslim. Selain bertugasmenyelenggarakan kegiatan keagamaan atas perintah kerajaan, mereka juga menjaga dan memelihara keberadaan Masjid Agung sebagai pusat ibadah dan pendidikan ajaran agama islam.
Batik adalah sumber ekonomi utama yang menjadikan Kauman secara fisik terlihat sebagai kampung elit pada masa itu. Pada awalnya, Batik Kauman dikenal sebagai batik pakem yang khusus digunakan oleh bangsawan keraton dan dibuat oleh para istri abdi dalem pamethakan. Dalam perkembangan selanjutnya batik menjadi industri yang sangat dominan di Kauman.
Di Kampung Kauman banyak tumbuh produsen dan pedagang batik yang berjaya, ini tidak kalah kejayaannya dibandingkan dengan keluarga-keluarga saudagar di kampung Laweyan. Dan mereka juga berlumba membangun rumah mewah di perkampungan yang padat itu. Nama-nama bekas pengusaha batik yang berjaya dari kauman Solo antara lain adalah: Haji Abdul Fattah, Kyai Haji Kholil,Haji Abu Amar, KHM.Billal, H.Masngadi Ahmad Kroya, HM.Saleh Syaibani dll. Dan saat ini masih ada yang melanjutkan sebagai generasi penerus pengusaha batik di kauman, seperti Perusahaan Batik Gunawan Setiawan, adalah salah satu cicit dari keluarga haji Abu Amar. Dengan adanya perkembangan pengusaha batik di daerah Kauman, akibatnya, Kauman menjadi penuh dengan berbagai rumah gedongan yang berdesakkan, dan menyisakan gang yang sangat sempit bagi pejalan kaki.
Apabila Kauman terletak di sisi barat depan alun-alun utara, di sisi timurnya terletak perkampungan Pasar Kliwon, kawasan permukiman warga keturunan Arab. Di Surakarta, warga keturunan Arab biasa dipanggil Encik. Banyak warganegara Arab yang kejayaan dalam melakukan usahanya seperti: sebagai pengusaha batik cap, pengusaha tenun, serta berdagang batik, sehingga kawasan ini juga dipenuhi dengan rumah gedongan yang juga memiliki ciri seni bina khas sendiri
Meskipun hidup dalam lingkungan yang sangat religius, kampung ini ternyata bisa melahirkan tokoh di bidang kesenian khususnya musik. Itulah Kauman, kampung yang dihuni para Santri, Priyayi, Pengusaha, dan Seniman.
Daftar Pustaka
Musyawaroh, Ir. 2000. Deskripsi Tata Fisik Rumah Pengusaha Batik di Kauman Surakarta, .Yogyakarta: UGM,press.
Sri Hardiyatno, Ir, 2000.  Simbol-Simbol pada Masjid Kerajaan di Jawa, Yogyakarta: UGM. .
Sri Wulandari, 1989. Sejarah Kampung Kauman Surakarta 1900-1945, Surakarta: UNS .
Ahmad Romdhon, 2002. PUDARNYA KAUMAN Studi perubahan Sosial Masyrakat Islam Tradisional di Kauman Surakarta, Surakarta: UNS .
Takashi Shiraishi Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat Dijawa, 1912-1926, Pustaka Utama Graffiti, 1997.
H. Santoso Doellah, Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan, Danar Hadi. 2000
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939,Yayasan Untuk Indonesia, 2000.
RM Sajid, Babad Sala, Reksapustaka, 1984.
S. Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874, Pustaka Pelajar. 2004.
H A Basit Adnan. Sejarah Masjid Agung don Gamelan di Surakarta, Yayasan Mardikintoko, 1996.
Moh. Ardani, Prof, Dr, Peran Karaton Dalam Pengembangan Budaya dan Pendidikan Islam, 2007
Serat Pengetan Lelampahipun Suwargi Konjeng Pangulu Tafsiranom V Sumare Ing Imogiri 1786-1861 j / 1854-1933 M.
Depdikbud; Dirjen Kebudapan Direktorat Perlindungan, Pembinaan, Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Naskah Studi Kelayakan Masjid Agung Surakarta Jateng: Proyek Pemugaran, Pemeliharaan, Peninggalan Sejarah dan Purbakala jateng; Naskah Pengetan Yason Dalem Paranata, 1986.
Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya Jilid III: Warisan Kerajaan kerajaan Konsentri, Jakarta, PT. Gramedia, 1996.
Clifford Geertz, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta, Pustaka Jaya,1983.




Komentar

Postingan Populer