DAMPAK NASIONALISASI ASET MANGKUNEGARAN TERHADAP PRAJA MANGKUNEGARAN
Perubahan sistem kebijakan pemerintah penguasa sangat berpengaruh terhadap sistem
birokrasi di Praja Mangkunegaran. Semasa pendudukan kolonial Belanda tahun 1940an terdapat
dua sistem pemerintahan, pemerintahan Belanda dan kerajaan, Struktur pegawai masih
mengikuti struktur birokrasi Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, struktur pegawai
pemerintahan Mangkunegaran masih menggunakan sistem Belanda tetapi juga ada perubahan
dalam struktur pemimpin suatu daerah. Masa kemerdekaan tahun 1945 pemerintah pusat telah
mengambil alih semua urusan kerajaan Mangkunegaran.
Pada masa pemerintahan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunagoro VIII
terjadi perubahan dan perkembangan baru yaitu sesudah terjadinya gerakan anti Swapraja yang
mengakibatkan dibekukannya Praja Mangkunegaran dengan penetapan Pemerintah no 16 S.D
sehingga statusnya menjadi bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia yang berarti Praja Mangkunegaran sudah tidak mempunyai kekuasaan lagi untuk memerintah.
Praja Mangkunegaran setelah Nasionalisasi
Setelah melalui masa transisi selama hampir empat tahun pada tahun 1950 segala bidang
pengusahaan yang pernah dilakukan oleh Praja Mangkunegaran juga dibekukan dan beralih ke
tangan pemerintah Indonesia. Selanjutnya Praja berusaha menata kembali sistem keuangannya
karena pada masa peralihan tersebut situasi keuangan Praja Mangkunegaran mengalami
kesulitan. Keadaan ini selaras dengan situasi politik dan ekonomi di Indonesia pada waktu itu,
antara tahun 1946 hingga tahun 1950.
Hal ini tentu saja membawa dampak dan perubahan yang sangat besar bagi Praja
Mangkunegaran. Praja yang pada masa sebelum kemerdekaan memiliki aturan dan sistem
ekonomi yang mandiri harus menyesuaikan diri dengan keadaan baru ini.
Dampak Nasionalisasi dalam bidang Perekonomian Mangkunegaran
Nasionalisasi terhadap aset-aset Mangkunegaran berpengaruh sangat besar pada
keuangan serta sistem keuangan Praja Mangkunegaran. Status istimewa serta kemandirian yang
biasanya dilakukan pada masa sebelum kemerdekaan harus dilepas. Roda perekonomian Praja
Mangkunegaran sepenuhnya bergantung pada subsidi pemerintah setelah keputusan tentang
pembubaran Komisi Dana Milik Mangkunegaran diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 2 Juli 1952.2 Subsidi yang diperoleh dari pemerintah pada dasarnya hanya bersifat
tunjangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan Sri Mangkunegoro VIII pribadi beserta putra
sentana serta kebutuhan bagi pemeliharaan keadaan didalam istana dengan rincian sebagai
berikut :
1. Praja Mangkunegaran mendapat subsidi dari pemerintah sebesar tiga juta rupiah
sebulan.
2. Setengah dari Jumlah tersebut digunakan untuk kebutuhan Sri Paduka Mangkunegara
dan Putra Sentana.
3. Jumlah tersebut separuhnya kemudian diambil sebagai biaya perawatan istana dan sisanya untuk menggaji para abdi dalem.
Sistem manajemen keuangan istana Mangkuengaran masa Mangkunegara VIII, masih
berdasarkan pada pranatan atau peraturan 1917. Peraturan ini berpedoman pada sistem
pembukuan yang rasional yaitu memisahkan antara kekayaan istana dengan harta pribadi Sri
Paduka Mangkunegara sebagai bentuk kesadaran akan kewarganegaraan. Hal semacam ini
berarti erat kaitannya dengan sistem hukum dan administrasi yang rasional. Dengan dibentuknya
Kantor Dinas Urusan Istana yang mengelola sirkulasi keuangan istana, untuk memenuhi
kebutuhan istana termasuk merawat istana dengan segala isinya serta untuk menggaji para abdi
dalem. Sedangkan segala kebutuhan sehari-hari Sri Mangkunegara pribadi masuk dalam bentuk
anggaran kas kecil dan dikelola oleh kantor Reksabuana Mangkunegaran.
Kantor ini mengelola keuangan istana yang berasal dari subsidi pemerintah yang diterima secara rutin tiap sebulan sekali melalui Departemen Dalam Negeri kemudian turun ke Pemerintah Daerah tingkat I Jawa Tengah dan terakhir melalui Pemerintah Daerah tingkat II Surakarta yaitu melalui Residen atau Walikota Surakarta.4 Tetapi oleh Praja Mangkunegaran
subsidi ini dirasa sangat kurang mengingat besarnya biaya perawatan istana yang harus
dikeluarkan. Untuk mengatasi hal tersebut maka Praja Mangkunegaran dibawah kepemimpinan
Mangkunegara VIII mengambil suatu langkah guna mengatasi situasi keuangan Praja. Sesuai
dengan fungsi dan misi Mangkunegaran yang tidak lain adalah hanya sebagai salah satu pusat
pelestari dan pengembang budaya Jawa, yaitu melestarikan peninggalan budaya luhur
Mangkunegaran untuk disumbangkan kepada pembangunan nasional maka didirikanlah badan
badan usaha untuk menunjang misi tersebut melalui organisasi kekerabatan Mangkunegaran atau
yang lebih sering disebut dengan Himpunan Kekerabatan Mangkunegaran (HKMN).
Mangkunegaran kemudian berusaha untuk bangkit dan memperbaiki sistem
perekonomiannya. HKMN dibentuk pada tahun 1946, pembentukan organisasi ini didasari oleh
bahwa setelah tahun 1946 pemerintahan Mangkunegaran dibekukan maka segala kegiatan yang
mengatasnamakan pemerintahan Mangkunegaran tidak dibenarkan lagi. Para pendiri Republik
menyadari bahwa banyak hal yang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah daerah baru yang
mengambil alih pemerintahan Mangkunegaran, terutama menyangkut hal-hal yang bersifat
spiritual, kultural, dan nilai-nilai luhur peninggalan leluhur Mangkunegaran. Disamping itu
masih ada pula bangunan istana beserta benda-benda budaya yang ada didalamnya,
perpustakaan, dan kekayaan-kekayaan lainnya yang terhimpun dalam Fonds van
Eigendommen Mangkunegaran. Semua itu masih menjadi tanggung jawab pihak
Mangkunegaran dengan Mangkunegoro VIII sebagai pemimpinnya. Begitu pula dengan para pengawal, pemangku, dan abdi dalem, yang berarti harus dilanjutkan pengurusan,
pemeliharaan, pengelolaan, dan pemanfaatannya. Dengan istilah lain “hak hidupnya tetap ada”.
Semua itu ditangani oleh beberapa badan antara lain Dinas Urusan Istana
(sebelumnya disebut Kabupaten Mondropura), Kawedanaan Satriya dan Mangkunegoro VIII
sendiri beserta stafnya.
Menghadapi perubahan situasi politik beserta dampaknya, dan pengalaman
Mangkunegaran selama ini, diputuskan untuk segera membentuk suatu badan yang dapat
menghimpun potensi kerabat Mangkunegaran. Dengan persetujuan Mangkunegoro VIII dan
pepatih dalem KRMAA Partono Hardojonoto dibentuklah sebuah organisasi yang diberi nama “Himpunan Kerabat Mangkunegaran”. HKMN lahir pada tahun 1946, adapun AD/
RTnya baru dapat disahkan pada tanggal 3 November 1950 atau Jumuwah Kliwon 22
Suro Jimakir 1882, dengan candrasengkala Mulat Sarira Ngesti Sawiji.
Selanjutnya
dinyatakan: “Dengan berazaskan budi luhur, kekeluargaan, Pancasila dan Nunggal Laras,
HKMN bermaksud dan bertujuan:
1.Menghimpun dan menyusun tenaga lahir dan batin dari masyarakat kerabat
Mangkunegaran, guna membangun dan mengembangkan masyarakat kerabat Mangkunegaran
pada khususnya dan Indonesia pada umumnya sesuai dengan perubahan zaman.
2. Menambah kesadaran para kerabat atau kewajiban sebagai anggota masyarakat.
3. Menanam pengertian yang sehat akan paham kedaulatan rakyat (demokrasi) dan
membiasakan mempergunakan hak demokrasi secara teratur yang layak dalam negara hukum
yang demokratis.
4. Memperdalam kesadaran bernegara dan berbangsa.
5. Memperdalam dan mengembangkan kebudayaan asli.
6. Menjalankan usaha-usaha untuk mempertinggi tingkat hidup rakyat, jasmani dan rohani bagi kerabat Mangkunegaran pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Penghapusan Swapraja dan upaya nasionalisasi yang dilaksanakan sejak tahun 1952,
menyebabkan seluruh kekayaan ex-Swapraja dibekukan. Termasuk didalamnya kekayaan
Mangkunegaran yang terhimpun dalam Founds van Eigendommen van het Mangkoenegarasche
Rijk atau Dana Milik Mangkunegaran. Untuk selanjutnya diambil alih oleh pemerintah Republik
dan berada dalam wewenang pengurusan Walikota Surakarta.
Pada tahun 1970, kestabilan keuangan Mangkunegaran dapat tercapai. Hal ini dilakukan
dengan dirintisnya usaha-usaha baru sebagai pemasok keuangan Praja. Badan-badan usaha
tersebut adalah :
1. Kantor Biro Pariwisata Mangkunegaran yang ada di bekas Gedung Perkantoran
Mangkunegaran
2. PT Retnapuri yang bergerak dalam bidang usaha perhotelan yaitu dengan
didirikannya Hotel Mangkunegaran (Mangkunegaran Palace Hotel) pada tahun 1962
oleh Sri Paduka Mangkunegaran VIII. Hotel ini berdiri di atas bekas gedung militer
Legiun Mangkunegaran sebelah barat pamedan (halaman depan istana). Managing
Director PT Retnapuri tersebut adalah Gusti Pangeran Hario (GPH) Sujiwo Kusumo.
GPH Sujiwo Kusumo merupakan putra keempat Sri Paduka Mangkunegoro VIII.
3. PT Astrini yang bergerak dalam bidang usaha penyaluran bahan-bahan pokok dari
Bulog Jawa Tengah, dengan 20 orang karyawan. PT Astrini ini juga memiliki hak
konsensi kayu dan rotan seluas 20.000 hektar di Kalimantan Timur.
4. PT Gamelan Mangkunegaran yang berada Panti Putra Mangkunegaran. Badan usaha
ini membuat dan menjual perangkat gamelan.
5. Bank Mekar Nugraha yang bergerak dalam bidang usaha perbankan.
6. Koperasi keluarga Mangkunegaran yang berdiri pada tanggal 22 Januari 1980. Koperasi berada di gedung bekas kantor Kejaksaan Mangkunegaran.
Selain mendirikan berbagai bidang usaha baru untuk menunjang perekonomian
Mangkunegaran. Berbagai pendekatan dilakukan pihak Mangkunegaran pada pemerintah
Republik agar dapat meninjau kembali status dana tersebut. Pemerintah Soekarno tidak
memberikan tanggapan perihal dana tersebut, sampai kemudian terjadi perubahan sistem
pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pada masa pemerintahan Soeharto tepatnya tahun 1970 dan kemudian 1974,
Mangkunagoro VIII mengupayakan kembalinya dana tersebut. Bukan sesuatu yang mudah
memang, proses yang dijalani pun amat panjang. Dengan negosiasi pihak HKMN yang diwakili
anggota-anggotanya seperti Mayjen Suryo Sumpeno, pengusaha terkenal Sukamdani S
Gitosardjono, mantan Menteri Kehutanan DR. Soedjarwo, dan ibu negara Tien Soeharto, dana
tersebut berhasil dikembalikan. Pengembaliannya tidak dilakukan sekaligus, melainkan secara
bertahap.
Dana yang dimaksud berupa kepemilikan yayasan dilingkungan Mangkunegaran seperti :
Yayasan Cikal Bakal Mangkunegaran, Yayasan SMA Siswo Mangkunegaran, Yayasan PDMN,
Yayasan Ywapati, Yayasan SD Siswo Mangkunegaran, Yayasan Hardi Bangun Mangkunegaran,
Yayasan Bina Budaya Mangkunegaran, Perkumpulan PAKARTI Mangkunegaran (Karawitan
Beksan), Pengurus SMP Siswo IV Mangkunegaran, Pengurus TK Taman Putra Mangkunegaran,
HPMN (Himpunan Pemuda Mangkunegaran), HWMN (Himpunan Wanita Mangkunegaran), NV Gianti, dan CV Aneka Ratna.
Mangkunegaran menjalin hubungan baik dengan berbagai kalangan baik itu,
negarawan, politisi, diplomat, seniman, dan pengusaha-pengusaha terkenal. Kekayaan
budaya Mangkunegaran menjadi daya tarik, sumber inspirasi dan juga memiliki nilai jual
tersendiri. Tidak heran bila istana Mangkunegaran selalu masuk dalam daftar kunjungan para
tamu negara.
Dampak Nasionalisasi pada bidang Sosial
Dalam bidang sosial, Sehubungan dengan timbulnya gerakan anti Swapraja yang terjadi
di Surakarta pada tahun 1946, peristiwa ini telah mengakibatkan dibekukannya kekuasaan
Swapraja dan kekuasaan diambil alih Pemerintah Republik Indonesia. Kejadian ini diikuti
dengan keluarnya Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 16/ S.D. tanggal 15 Juli 1946.
Penetapan Pemerintah ini diantaranya berisi tentang perubahan wilayah Surakarta dari
status Swapraja menjadi wilayah karisidenan yang langsung di bawah Pemerintah Republik
Indonesia, sehingga dua kabupaten yang semula berada di bawah Praja Mangkunegaran
saling melepaskan diri dan masing-masing menjadi Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar hingga sekarang ini.
Sedangkan Praja Mangkunegaran sendiri menjadi istana tanpa pemerintahan yang resmi dan tinggal melestarikan warisan-warisan budaya yang ada.11 Mangkunegaran berusaha
untuk memperkuat jaringan sosialnya dengan memberi kesempatan masuknya anggota-anggota
kehormatan yakni orang-orang yang berjasa pada Mangkunegaran, Pejabat pemerintah, serta
tokoh masyarakat yang menaruh simpati pada Azas dan tujuan Mangkunegaran. Nama tokoh
terkenal berskala nasional seperti Iwan Tirta (seniman batik) dan Joop Ave (mantan menteri
pariwisata, pos dan telekomunikasi) adalah sebagian dari mereka yang diangkat sebagai anggota
kehormatan yang bertujuan untuk memperkuat kedudukan sosial Mangkunegaran. Usaha lainnya
untuk mengangkat derajat Mangkunegaran di mata masyarakat adalah dengan melalui perkawinan, biasanya dengan melalui justifikasi prasyarat perkawinan Jawa bibit, bebet dan
bobot.
Perkawinan ini diharapkan agar Mangkunegaran memperoleh pihak-pihak yang
menguntungkan bagi Mangkunegaran. Misalnya, perkawinan antara Sudjiwo Kusumo dengan
Sukmawati Sukarno Putri. Perkawinan yang berlangsung tahun 1974 itu tidak berumur
panjang. Perkawinan kedua Sudjiwo dengan Prisca Marina, putri Letjen Haryogi Supardi,
GRAy. Retno Satuti yang menikah dengan Alm. Rahardian Yamin, terakhir perkawinan GRAy.
Retno Astrini dengan Pangeran Syeh abu bakar dari Kerajaan Selangor Malaysia.
Dalam sopan santun berbahasa ditunjukan bahwa berbicara secara formal seperti dalam
pertemuan atau upacara resmi, seorang atasan terhadap bawahan memakai bahasa krama
sebagaimana kalau bawahan berbicara terhadapan atasan. Dari kenyataan di atas
menunjukkan bahwa Mangkunegaran telah berusaha meningkatkan dan menguatkan serta
memperluas nilai-nilai Mangkunegaran yang telah pudar dimata masyarakat Surakarta pada masa
Revolusi Indonesia dalam bidang sosial.
Dampak Nasionalisasi dalam Bidang Kebudayaan Mangkunegaran
Dalam bidang budaya, Mangkunegaran tidak mengalami perubahan berarti. Hanya saja
pengembangan budaya yang dahulu hanya sebatas pada sebatas daerah Swapraja, setelah
Nasionalisasi, Mangkunegaran mengembangkan kebudayaannya secara nasional. nampak
adanya usaha dalam menghidupkan budaya tradisi yang dipadukan dengan unsur budaya
modern. Sesuai dengan adanya demokratisasi di bidang budaya ini, Pura Mangkunegaran tidak pernah mendebatkan nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru, antara tradisi dan
modernisasi. Tetapi lebih menekankan pada pelestarian dan pengembangan tradisi yang
dipadukan dan disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena
itu warna budaya yang muncul tidak berupa seni yang klasik saja, namun juga pengaruh budaya
modern.
Usaha di bidang budaya juga nampak dalam hal upacara jumenengan pengageng
Pura Mangkunegaran yang telah mengalami perubahan. Sebelumnya upacara jumenengan ini
dilakukan oleh raja dari Kasunanan Surakarta, namun sejak jumenengan untuk KGPA
Mangkunegoro (IX) pada tanggal 24 Januari 1988 telah dilakukan sendiri oleh para Sesepuh
Agung Pura Mangkunegaran. Hal ini disebabkan Pura Mangkunegaran telah berdiri sendiri
dan sama sekali tidak tergantung dari Kasunanan Surakarta. Sehingga Pura Mangkunegaran mempunyai kebebasan dalam melakukan kegiatan tradisinya.
Mangkunegoro mempunyai kewenangan dan tugas sebagai pimpinan tertinggi
keluarga besar Mangkunegaran, baik dalam upacara-upacara tradisi yang berlaku di lingkungan
Mangkunegaran. Satu hal yang kini akan diterapkan untuk sedikit demi sedikit meninggalkan
tradisi yang sudah tidak lagi mempunyai nilai sosial ekonomi yang tidak juga sesuai dengan
kemajuan jaman. Tetapi itu bukan berarti semua tradisi akan hilang, seperti tradisi kirab
pusaka pada malam satu Suro atau jamas pusaka dan upacara yang sifatnya untuk pelestarian budaya, selama masih diminati masyarakat tetap akan dipertahankan.
Dalam masa pembangunan ini Mangkunegaran di samping tetap mempertahankan
identitasnya sebagai keturunan priyayi Mangkunegaran, juga telah membaurkan diri dalam
masyarakat bangsa Indonesia dan berperan besar dalam Kebudayaan Nasional. Kenyataan
ini dapat ditinjau bahwa pihak Mangkunegaran telah banyak menyumbangkan ciri khas
kebudayaannya seperti bahasa, pakaian adat, kesenian, tarian perjuangan dan piwulang
piwulang luhur lainnya. Semua ini mempunyai peran besar dan memberi identitas kepada
Kebudayaan Nasional. Anjungan Jawa Tengah di Taman Mini Indonesia Indah misalnya,
yang menggunakan bentuk bangunan Pendopo Ageng Istana Mangkunegaran. Ornamen
interior dan warna kuning-hijau (pari-anom) khas Mangkunegaran banyak digunakan dalam
bangunan monumental lainnya.
Usaha lain dengan dibentuknya Pusat Budaya Mangkunegaran yang merupakan
wadah pengelolaan di bidang budaya, sekaligus berfungsi sebagai pelestarian dan
penyebaran budaya Mangkunegaran khususnya, dan budaya Jawa pada umumnya. Di antara
kegiatannya adalah menyelenggarakan festival kesenian, menjalin kerja sama dengan
Perguruan Tinggi untuk kegiatan penelitian, seminar dan sebagainya. Selain itu juga
dilakukan pengiriman duta-duta kesenian ke luar negeri seperti Amerika, dan Belanda. Ini
menjadi bukti bahwa budaya Mangkunegaran tidak hanya untuk kerabat Mangkunegaran saja,
namun menjadi milik dan diabdikan pada bangsa dan negara.
Sehubungan dengan hal itu kerabat Mangkunegaran telah mendukung sepenuhnya
terhadap Kebudayaan Nasional, yakni melalui Pura Mangkunegaran dengan segala koleksinya
yang berupa benda-benda kuno, upacara adat, hingga pada arsitektur Pura. Di samping itu
ada pula Arsip dan Perpustakaan Reksa Pustaka yang menyimpan koleksi buku-buku kuno yang maupun terbitan baru, foto-foto kuno, dan buku-buku sastra dari pihak Mangkunegaran
sendiri. Semua ini telah memberikan sumbangan yang besar terutama untuk kegiatan penelitian
dan kegiatan ilmiah lainnya.
Komentar
Posting Komentar