NICCOLO MACHIAVELLI 1469-1527

Filosof politik Italia, Niccolo Machiavelli, termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan.

Dikutuk banyak orang selaku bajingan tak bermoral, dipuja oleh lainnya selaku realis tulen yang berani memaparkan keadaan dunia apa adanya, Machiavelli salah satu dari sedikit penulis yang hasil karyanya begitu dekat dengan studi baik filosof maupun politikus.

Machiavelli lahir tahun 1469 di Florence, Italia. Ayahnya, seorang ahli hukum, tergolong anggota famili terkemuka, tetapi tidak begitu berada.

Selama masa hidup Machiavelli --pada saat puncak-puncaknya Renaissance Italia-- Italia terbagi-bagi dalam negara-negara kecil, berbeda dengan negeri yang bersatu seperti Perancis, Spanyol atau Inggris. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa dalam masanya Italia lemah secara militer padahal brilian di segi kultur.

Di kala Machiavelli muda, Florence diperintah oleh penguasa Medici yang masyhur, Lorenzo yang terpuji. Tetapi Lorenzo meninggal dunia tahun 1492, dan beberapa tahun kemudian penguasa Medici diusir dari Florence; Florence menjadi republik (Republik Florentine) dan tahun 1498, Machiavelli yang berumur dua puluh sembilan tahun peroleh kedudukan tinggi di pemerintahan sipil Florence. Selama empat belas tahun sesudah itu dia mengabdi kepada Republik Florentine dan terlibat dalam pelbagai missi diplomatik atas namanya, melakukan perjalanan ke Perancis, Jerman, dan di dalam negeri Italia.

Tahun 1512, Republik Florentine digulingkan dan penguasa Medici kembali pegang tampuk kekuasaan, Machiavelli dipecat dari posisinya, dan di tahun berikutnya dia ditahan atas tuduhan terlibat dalam komplotan melawan penguasa Medici. Dia disiksa tetapi tetap bertahan menyatakan tidak bersalah dan akhirnya dibebaskan pada tahun itu juga. Sesudah itu dia pensiun dan berdiam di sebuah perkebunan kecil di San Casciano tidak jauh dari Florence.

Selama empat belas tahun sesudah itu, dia menulis beberapa buku, dua diantaranya yang paling masyhur adalah The Prince, (Sang Pangeran) ditulis tahun 1513, dan The Discourses upon the First Ten Books of Titus Livius (Pembicaraan terhadap sepuluh buku pertama Titus Livius). Diantara karya-karya lainnya adalah The art of war (seni berperang), A History of Florence (sejarah Florence) dan La Mandragola (suatu drama yang bagus, kadang-kadang masih dipanggungkan orang). Tetapi, karya pokoknya yang terkenal adalah The Prince (Sang Pangeran), mungkin yang paling brilian yang pernah ditulisnya dan memang paling mudah dibaca dari semua tulisan filosofis. Machiavelli kawin dan punya enam anak. Dia meninggal dunia tahun 1527 pada umur lima puluh delapan.

The Prince dapat dianggap nasihat praktek terpenting buat seorang kepada negara. Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu keberhasilan, seorang Pangeran harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala, sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Machiavelli menekankan di atas segala-galanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Dia berpendapat, hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri yang bisa dipercaya; negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya.

Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Dia usul, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, si penakluk mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus sehingga tidak perlu mereka alami tiap hari kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang."

Untuk mencapai sukses, seorang Pangeran harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia: Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan.

Dalam bab 17 buku The Prince , Machiavelli memperbincangkan apakah seorang Pangeran itu lebih baik dibenci atau dicintai.

Tulis Machiavelli: "... Jawabnya ialah orang selayaknya bisa ditakuti dan dicintai sekaligus. Tetapi ... lebih aman ditakuti daripada dicintai, apabila kita harus pilih salah satu. Sebabnya, cinta itu diikat oleh kewajiban yang membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri, dan ikatan itu akan putus apabila berhadapan dengan kepentingannya. Tetapi ... takut didorong oleh kecemasan kena hukuman, tidak pernah meleset ..."

Bab 18 yang berjudul "Cara bagaimana seorang Pangeran memegang kepercayaannya." Di sini Machiavelli berkata "... seorang penguasa yang cermat tidak harus memegang kepercayaannya jika pekerjaan itu berlawanan dengan kepentingannya ..." Dia menambahkan, "Karena tidak ada dasar resmi yang menyalahkan seorang Pangeran yang minta maaf karena dia tidak memenuhi janjinya," karena "... manusia itu begitu sederhana dan mudah mematuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukannya saat itu, dan bahwa seorang yang menipu selalu akan menemukan orang yang mengijinkan dirinya ditipu." Sebagai hasil wajar dari pandangan itu, Machiavelli menasihatkan sang Pangeran supaya senantiasa waspada terhadap janji-janji orang lain.

The Prince (Sang Pangeran) sering dijuluki orang "buku petunjuk untuk para diktator." Karier Machiavelli dan pelbagai tulisannya menunjukkan bahwa secara umum dia cenderung kepada bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator. Tetapi dia cemas dan khawatir atas lemahnya politik dan militer Italia, dan merindukan seorang Pangeran yang kuat yang mampu mengatur negeri dan menghalau tentara-tentara asing yang merusak dan menista negerinya. Menarik untuk dicatat, meskipun Machiavelli menganjurkan seorang Pangeran agar melakukan tindakan-tindakan kejam dan sinis, dia sendiri seorang idealis dan seorang patriot, dan tidak begitu mampu mempraktekkannya sendiri apa yang dia usulkan.

Sedikit filosof politik yang begitu sengit diganyang seperti dialami Machiavelli. Bertahun-tahun, dia dikutuk seperti layaknya seorang turunan iblis, dan namanya digunakan sebagai sinonim kepalsuan dan kelicikan. (Tak jarang, kutukan paling sengit datang dari mereka yang justru mempraktekkan ajaran Machiavelli, suatu kemunafikan yang mungkin prinsipnya disetujui juga oleh Machiavelli)!

Kritik-kritik yang dilempar ke muka Machiavelli dari dasar alasan moral tidaklah, tentu saja, menunjukkan bahwa dia tidak berpengaruh samasekali. Kritik yang lebih langsung adalah tuduhan keberatan bahwa idenya itu bukan khusus keluar dari kepalanya sendiri. Tidak orisinal! Ini sedikit banyak ada benarnya juga. Machiavelli berulang kali menanyakan bahwa dia tidak mengusulkan sesuatu yang baru melainkan sekedar menunjukkan teknik yang telah pernah dilaksanakan oleh para Pangeran terdahulu dengan penuh sukses. Kenyataan menunjukkan Machiavelli tak henti-hentinya melukiskan usulnya seraya mengambil contoh kehebatan-kehebatan yang pernah terjadi di jaman lampau, atau dari kejadian di Italia yang agak baruan. Cesare Borgia (yang dipuji-puji oleh Machiavelli dalam buku The Prince) tidaklah belajar taktik dari Machiavelli; malah sebaliknya, Machiavelli yang belajar darinya.

Kendati Benito Mussolini adalah satu dari sedikit pemuka politik yang pernah memuji Machiavelli di muka umum, karena itu tak meragukan lagi sejumlah besar tokoh-tokoh politik terkemuka sudah pernah baca The Prince dengan cermat. Konon, Napoleon senantiasa tidur di bantal yang di bawahnya terselip buku The Prince, begitu pula orang bilang dilakukan oleh Hitler dan Stalin. Meski demikian, tidaklah tampak jelas bahwa taktik Machiavelli lebih umum digunakan dalam politik modern ketimbang di masa sebelum The Prince diterbitkan. Ini merupakan alasan utama mengapa Machiavelli tidak ditempatkan lebih tinggi dari tempatnya sekarang di buku ini.

Tetapi, jika efek, pikiran Machiavelli dalam praktek politik tidak begitu jelas, pengaruhnya dalam teori politik tidaklah perlu diperdebatkan. Penulis-penulis sebelumnya seperti Plato dan St. Augustine, telah mengaitkan politik dengan etika dan teologi. Machiavelli memperbincangkan sejarah dan politik sepenuhnya dalam kaitan manusiawi dan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan moral. Masalah sentral, dia bilang, adalah bukan bagaimana rakyat harus bertingkah laku; bukannya siapa yang mesti berkuasa, tetapi bagaimana sesungguhnya orang bisa peroleh kekuasaan. Teori politik ini diperbincangkan sekarang dalam cara yang lebih realisitis daripada sebelumnya tanpa mengecilkan arti penting pengaruh Machiavelli. Orang ini secara tepat dapat dianggap salah satu dari pendiri penting pemikir politik modern.

Niccolo Machiavelli (Sang Penguasa) 1469-1527

Niccolo Machiavelli dilahirkan di Kota Florence di Jazirah Italia pada 1469. Ia dibesarkan dalam keluarga ayahnya yang ahli hukum dan kaya. Ayahnya membantu Machiavelli untuk menikmati pendidikan yang terbaik pada waktu itu di Florence, karena ayahnya menginginkan kelak Machiavelli menjadi seorang teknokrat. Akan tetapi, ibunya mengharapkan Machiavelli menjadi imam atau rohaniawan. Machiavelli sendiri kemudian berkembang menjadi seorang politikus dengan ide-ide yang kongkret, praktis, dan peka terhadap prioritas-prioritas tindakan (Machiavelli, 1987: xix). Pada usia 25 tahun, ia telah berkecimpung dengan kehidupan politik. Machiavelli pernah menjabat kedudukan tinggi dalam bidang diplomatik, dalam mengatur organisasi ketentraman, serta mengurus korespondensi resmi negaranya. Machiavelli pernah dipenjara dan dibuang karena dianggap sebagai komplotan anti pemerintahan tahun 1513. Setelah dibebaskan kembali ia memencilkan diri di sebuah tanah pertanian di luar kota. Disanalah ia mulai menuangkan ide pikrannya ke dalam bentuk tulisan, Discorsi dan Principe (Sang Pangeran).
Kejadian-kejadian politik pada waktu itu meninggalkan kesan yang mendalam pada Machiavelli, ia menyaksikan runtuhnya kekuasaan keluarga Medici yang sudah memerintah Negara Florence selama beberapa generasi sekitar seratus tahun. Ia juga melihat runtuhnya suatu kekuasaan yang tidak mendapat dukungan dari rakyat biasa.
Sementara itu, Machiavelli melihat sendiri betapa tidak stabilnya kesadaran politik rakyat biasa, karena gampang diombang-ambingkan oleh permainan politik golongan aristokrat, dimana Savoranola juga menjadi anggotanya. Oleh karena itu, ia sadar betapa tidak stabil kekuasaan itu. Padahal stabilitas kekuasaan sangat menentukan pertumbuhan rasa aman dan kultur kerja di negara Florence seperti dialami ketika Lorenzo Agung memerintah (Machivelli, 1987: xxi).
Selama empat belas yahun Machiavelli menjadi politikus praktis, terlibat sebagai pelaku dalam panggung kekuasaan Republik Florence, dan beberapa kali berperan sebagai diplomat atau pejabat negara. Dengan menjalankan tugas diplomatik sebagai duta negara Florence ke negara-negara tetangga, maka semangat patriotisme Machiavelli semakin menyala-nyala, tidak hanya terbatas pada keamanan dan kesejahteraan Florence tanah airnya, tetapi juga tumbuh menjadi cita-cita baru yaitu berdirinya Negara Italia yang baru sebagai bentuk renaissance dari kekaisaran Romawi. Pada 1500 Machiavelli bertemu dengan Louis XII Raja Prancis, untuk meminta bantuannya mengalahkan Pisa.
Selanjutnya, Machiavelli juga menjalin hubungan baik dengan Paus Julius II. Maximilian (1459-1519) Kaisar Romawi Suci. Raja Ferdinand (1452-1516) dari Spanyol hingga para penguasa Turki. Dari seluruh tokoh yang ditemuinya selama bertugas sebagai Kanselir, yang paling dikagumi Machiavelli adalah Cesare Borgia (1476¬-1507), putra Paus Alexander VI (Machiavelli, 1987: xxii dan Machiavelli, 1997: 25).
Kekaguman pada pangeran dari Valentino tersebut semakin mengental setelah selama empat bulan lebih ia tinggal di istana Morgia, milik Cesare Borgia. Di sana ia menyaksikan dari dekat bagaimana Cesare Borgia menghadapi dan menyelesaikan krisis dan gejolak di negaranya. Cesare juga sering bertukar pikiran dengan Machiavelli, terutama untuk menyatukan Italia. Seluruh percakapan dan pengamatannya terhadap Cesare juga tokoh negarawan lainnya, dicatat secara rinci oleh Machiavelli, dan kemudian dilaporkan dengan diam-diam ke Komisi Sepuluh Republik Firenze. Catatan tersebut kelak menjadi bahan-bahan pokok bagi Il Principe.
Pada saat Republik Firenze runtuh, bangsa Medici dengan batuan pasukan Spanyol secara gemilang kembali merebut tahta kekuasaan Firenze, Desember 1512. Para pengikut Soderini termasuk Machiavelli, kemudian dijebloskan ke penjara 1513. Sebagian yang selamat melarikan diri dari Firenze. Oleh karena bantuan para sahabat yang masih berpengaruh, dia dibebaskan dari hukuman penjara. Namanya direhabilitasi, kemudian ia dipensiunkan pada usia 44 tahun. Ia menghabiskan masa pensiun dan masa kehidupannya dengan berdiam di sebuah perkebunan kecil miliknya di luar Kota Florence, daerah San Cassino.
Selama tinggal di pedesaan itulah muncul pertanyaan-pertanyaan di benak Machiavelli di antaranya, “mengapa kekuasaan mudah runtuh?”. “Bagaimana caranya agar kekuasaan tetap lestari?” saat itu ia sedang dipuncak kegundahannya. Hatinya pedih menyaksikan Italia yang luluh lantak oleh serbuan pasukan asing, dan Firenze yang terus-menerus dilanda perebutan kekuasaan. Namun yang paling membekas di hati Machiavelli adalah kekuasaan Republik Firenze, bentuk negara yang diidam-idamkannya.
Hasil percakapannya dengan buku-buku karya penulis klasik seperti Livius, Cicero, dan Petrarch di kamar kerjanya yang sepi ditambah dengan hasil pengamatan dan pengalamannya sendiri, kemudian dituangkan dalam berbagai tulisannya. Bukunya yang paling terkenal adalah Il Principe/The Prince/ Sang Penguasa. Dengan karya inilah Niccolo Machiavelli dituduh sebagai biang penyebar moral “tujuan menghalalkan cara” (the end justifies the means). Istilah Machiavelli terlanjur dipakai untuk segala pikiran, sikap, dan tindakan kotor, serta kejam dalam politik.
Garis Besar Isi Buku
Sang Penguasa adalah buku yang dibuat Niccolo Machiavelli untuk penguasa Florence, Lorenzo De’Medici yang sedang berkuasa pada waktu itu. Buku ini berupa surat yang panjang berisi petunjuk bagaimana menjadi raja yang berkuasa, dan disegani oleh penduduk, serta nasihat-nasihat bagaimana usaha untuk mempertahankan kekuasaan.
Pada dasarnya, menurut Machiavelli seorang raja boleh melakukan apa saja atau dengan kata lain boleh dengan segala cara untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan.
Pendapat Machiavelli ini bertolak dari kondisi riil tingkah laku politik anggota masyarakat masing-masing negara yang telah diamati oleh Machiavelli.
Tujuan dari semua usaha penguasa itu, adalah mempertahankan stabilitas suatu negara agar negara tetap aman dan apabila ada ancaman baik itu dari dalam maupun dari luar negeri maka diadakan tindakan penyelamatan. Tindakan yang diambil oleh penguasa tidak berdasarkan kepentingan rakyat. Akan tetapi, tergantung dari keadaan dan desakan situasi sosial tanpa mempedulikan apakah tindakan tersebut dinilai baik atau buruk oleh rakyat. Seorang penguasa tidak perlu takut akan kecaman yang timbul karena kekejamannya selama ia dapat mempersatukan dan menjadikan rakyat setia, dan demi keselamatan negara. Menurut Machiavelli seorang penguasa jauh lebih baik ditakuti oleh rakyatnya daripada dicintai.
Dalam usaha menegakkan kekuasaannya seorang penguasa dapat melakukan tindakan yang mengabaikan penilaian moral dari masyarakat, seperti misalnya keluarga dari penguasa sebelumnya harus dimusnahkan semua untuk mencegah terjadinya pemberontakan di kemudian hari. Hal itu harus dilakukan penguasa atas desakan dan tuntutan situasi dalam menguasai suatu wilayah baru agar ancaman terhadap kekuasaan wilayah tersebut lenyap, setelah itu baru menarik simpati rakyat agar mendapatkan dukungan. Cara lain untuk mengamanan kekuasaannya diwilayah baru adalah penguasa baru harus tinggal di wilayah tersebut, mendirikan koloni-koloni, dan menempatkan pasukan serta infanteri dalam jumlah yang besar. Wilayah baru dapat diperintah oleh penguasa penggantina tanpa adanya pemberontakan walaupun penguasa baru tersebut telah meninggal bila diperintah dengan bersatu dan para bangsawan tetap diberi kekuasaan di wilayah mereka dimana mereka diakui dan dicintai. Jadi tugas penguasa adalah mengamankan kekuasaan yang ada ditangannya agar dapat bertahan dengan langgeng. Tujuan berpolitik adalah memperkuat dan memperluas kekuasaan. Untuk itu segala usaha yang dapat mensukseskan tujuan dapat dibenarkan. Legitimasi kekuasaan membenarkan segala teknik pemanipulasian supaya dukungan masyarakat terhadap kekuasaan tetap ada. Keagungan seorang penguasa tergantung pada keberhasilannya mengatasi kesulitan dan perlawanan.
Selain itu, untuk melanggengkan kekuasaannya seorang penguasa harus mempunyai hukum dan angkatan perang yang baik. Hukum tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya angkatan perang yang baik. Machiavelli dalam bukunya ini tidak membahas masalah hukum, ia hanya membahas masalah angkatan perang saja. Angkatan perang merupakan landasan seorang penguasa untuk mempertahankan negaranya. Angkatan perang yang dimaksud adalah tentara sendiri bukan tentara bayaran atau tentara bantuan, karena tentara bayaran dan tentara bantuan tidak ada gunanya, mereka tidak disiplin dan tidak setia. Penguasa yang tidak mempunyai tentara sendiri hanya mengandalkan nasib mujur saja, karena tidak mempunyai sarana yang dapat diandalkan untuk mempertahankan negara pada masa-masa sulit. Tentara sendiri adalah tentara yang terdiri dari rakyat atau warga negara atau orang-orang yang dikuasainya. Penguasa harus mempelajari perang dan organisasinya serta cara mendisiplinkan pasukannya.
Seorang penguasa yang bijaksana tidak harus memegang janji apabila akan merugikan diri sendiri dan tidak ada alasan yang mengikat. Seorang penguasa tidak akan kehabisan alasan untuk menutupi tipuannya dan keliohatan seolah-olah baik. Dalam usaha mempertahankan wilayah kekuasaan biasanya penguasa membangun benteng pertahanan, akan tetapi benteng-benteng ini bisa berguna bisa juga tidak tergantung dari keadaan. Benteng dapat bermanfaat dan dapat juga merugikan. Akan tetapi, benteng terbaik adalah menghindari jangan sampai dibenci oleh rakyat. Seorang penguasa yang bijaksana mampu melihat dan membaca situasi yang mengancamnya dan memperkecil bahaya yang dapat ditimbulkannya. Ada tiga macam kebijaksanaan. Pertama, dapat memahami masalahnya sendiri, kedua menghargai pemahaman orang lain, dan yang ketiga tidak memahami masalah sendiri dan tidak menghargai pemahaman orang lain. Dari ketiga hal itu, yang terakhir merupakan sikap yang buruk.
Seorang penguasa juga harus dapat memilih menteri yang baik, yaitu menteri yang memikirkan dan mementingkan urusan penguasa dan negara. Penguasa harus menjalin hubungan yang baik dengan menterinya dan saling mempercayai. Selain itu, penguasa harus menyingkirkan para penjilat yang mengelilinginya dengan cara tidak marah apabila ada orang yang mengatakan hal yang sebenarnya. Darimanapun datangnya nasihat yang bijaksana, tergantung dari kebijaksanaan penguasa, dan kebijaksanaan sang penguasa tidak tergantung pada nasihat yang baik.
Analisa
Dalam bukunya Sang Penguasa ini, Niccolo Machiavelli memberikan petunjuk bahwa untuk menjadi seorang penguasa boleh melakukan segala cara. Ia juga memberikan nasihat bagaimana menjadi seorang penguasa yang dapat mempertahankan kelanggengan kekuasaannya dengan mengabaikan penilaian moralitas dan agama. Machiavelli memisahkan antara kekuasaan negara dengan kehidupan beragama dan kepentingan moral. Ia hanya membahas bagaimana mencapai tujuan yaitu kekuasaan apapun caranya.
Pemikiran Machiavelli yang diutarakan dalam bukunya tersebut menimbulkan pro dan kontra dikalangan masarakat luas, terutama yang menyangkut hubungan antara kekuasaan dengan moral agama. Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa Machiavelli sebagai guru yang jahat (teacher of evil) yang telah keluar dari moral dan ajaran agama, sehingga tak heran jika ia disebut guru yang jahat. Akan tetapi sebagian lainya mengatakan bahwa ia tak sejahat itu.
Beberapa bukti terhadap anggapan bahwa Machiavelli adalah orang yang kejam, sadis dan tidak bermoral : yang pertama Machiavelli berpendapat bahwa ada dua macam kerajaan, yaitu kerajaan warisan dan kerajaan baru. Akan tetapi di antara dua kerajaan tersebut kerajaan barulah sering menimbulkan masalah karena banyak menimbulkan kesan yang buruk seperti untuk menguasai daerah baru, keluarga raja yang dulu berkuasa harus ditumpas habis agar tidak menimbulkan pergolakan.Kedua perlu diadakan tindakan-tindakan yang keras pada rakyat sehingga menimbulkan penderitaan yang besar bagi rakyat itu.Dengan tujuan supaya rakyat tidak melawan kepada penguasa tersebut.
Menurut Machiavelli penguasa baru itu haruslah membuat suatu penderitaan yang besar bagi sebagian rakyat. Ketiga apabila suatu negara yang baru saja direbut , dan rakyatnya sudah terbiasa hidup bebas dan mengikuti hukum, maka cara yang lebih baik untuk mempertahankan kekuasaan adalah menghancurkan kota itu, karena kalau tidak, maka sang penguasa akan mengalami kesulitan dan bukan tanpa disadari ia akan hancur sendiri. Keempat ada ada dua cara untuk menjadi penguasa di wilayah baru, yaitu melalui kemampuan sendiri dan karena faktor nasib mujur. Dalam usaha sendiri, langkah yang bisa ditempuh adalah menciptakan kerusuhan, membuat negara berontak sehingga ia memperoleh kekuasaan dengan aman dari sebagian negara yang sudah dikuasai penguasa lain. Seperti yang dilakukan Alexander VI terhadap Orisis dan Collona.Kelima, dalam hal persekutuan dengan penguasa lain terutama dalam rangka mencapai suatu tujuan, maka sah-sah saja menggunakan tipu muslihat. Tipu muslihat itu dapat dibenarkan untuk melanggengkan jalan menuju kekuasaan.Keenam, ketika penguasa menggunakan kekuatan perang asing atau bayaran, maka setelah perang usai maka seharusnya pasukan bayaran itu dibantai habis. Kejahatan itu diperlukan demi keselamatan negara, karena jika ia menampakkan kebaikan, justru akan membahayakan dan membawa kehancuran.Ketujuh, seorang raja tidak perlu bermurah hati untuk membuat dirinya tersohor, kecuali kalau ia mempertaruhkan dirinya, karena jika dilakukan menjadi rakus karena ingin menghindari diri dari kemiskinan, sehingga ia menjadi rakus dan dibenci rakyatnya.
Machiavelli selanjutnya menjelaskan, bahwa sikap kejam raja sangat diperlukan seperti yang dilakukan Cesare Borgia, karena dengan kekejamannya ia menjadikan kerajaan Romagia lebih baik.Dengan usaha memulihkan keamanan dan kekuatan rakyat.
Jika diperhatikan justru ia memiliki sikap belas kasih dari pada orang Florence yang ingin tidak untuk disebutkan, tetapi membiarkan Viktoria dihancurleburkan. Oleh karena itu, raja tidak perlu khawatir terhadap kecaman yang ditimbulkan karena kekejamannya selama ia mempersatukan dan mewujudkan rakyat setia. Di samping ia seorang raja yang memimpin pasukan tidak usah khawatir kalau disebut kejam, karena tanpa sebutan itu tidak akan pernah dapat mempersatukan dan mengatur pasukan selama itu, dengan cara tersebut justru ia semakin ditakuti dan dihormati pasuannya. Dengan demikian seorang raja harus mengandalkan apa yang ada padanya dan bukannya yang ada pada orang lain.
Menurut Machiavelli, bahwa ada dua cara berjuang yaitu melalui hukum dan kekerasan cara pertama bagi manusia dan cara yang kedua adalah cara binatang. Oleh karenanya seorang raja harus bersikap kadang-kadang sebagai manusia manusia dan kadang sebagai binatang, tak ubahnya seperti rubah dan singa. Dalam hal menepati janji, menurut Machiavelli manusia adalah mahluk yang jahanam yang tidak menepati janji, sehingga anda tidak perlu menepati janji pada manusia itu. Kemudian untuk pertahanan negara ia terpaksa bertindak berlawanan dengan kepercayaan orang, belas kasih, kebaikan, dan agama mengetahui bagaimana ia bertindak jahat jika diperlukan. Sementara itu cara untuk menghindari kebencian pada rakyat, maka seorang raja harus menunjuk orang lain untuk melaksanakan tindakan yang kurang menyenangkan rakyat, dan untuk melakukan sendiri pembagian penghargaan kepada rakyat. Sekali lagi penguasa harus tetap menghargai para bangsawan, tetapi tidak membuat dirinya dibenci rakyat.
Dengan demikian bukti-bukti tersebut dapat digolongkan pada penafsiran bahwa Machiavelli digolongkan sebagai orang yang jahat di sebagian orang, yang menilai sisi buruknya saja dari buku Principe II ini, tetapi menurut sebagian orang mengatakan bahwa Machiavelli tidak sejahat itu, didasarkan atas bukti-bukti di dalam buku Principe II, antara lain:
a. Mengenai kekejaman, menurut Machiavelli dapat dilakukan dengan cara yang baik atau tidak baik. Kekejaman itu bisa digunakan dengan baik jika hal tersebut dilakukan sekali, demi keselamatan seseorang atau negara. Oleh karena dengan cara itu kekuasaannya akan bertahan lama. Walaupun penguasa mengalami kesulitan, raja tidak boleh kejam, karena kebijaksanaan yang telah ditunjukkan raja pada rakyatnya. Kebaikan raja tersebut akan dipandang sebagai sesuatu yang tidak tulus atau hanya sebatas lip service.
b. Menurut Machiavelli sebelum melakukan tindakan keras ia menganjurkan pengadilan sipil di tengah propinsi untuk mengadili rakyat yang melanggar hukum. Setiap kota mempunyai perwakilannya di pengadilan tersebut.
c. Penguasa harus memelihara persahabatan dengan rakyat, karena kalau tidak ia tidak mempunyai teman yang dapat memberikan bantuan pada waktu negara dalam keadaan perang.
d. Raja tidak perlu khawatir disebut kejam, karena kekejaman itu diperlukan guna keselamatan negara. Hal itu didasarkan kalau dia berbuat baik justru akan membawa kehancuran. Sementara kalau dia menampakkan kejahatannya justru akan mendatangkan keamanan dan kemakmuran.
e. Negara yang diperintah dengan baik dan raja yang bijaksana selalu berusaha untuk membuat para bangsawan berputus asa, dan berusaha memakmurkan dan membahagiakan rakyatnya. Hal itu merupakan usaha penting yang harus dilakukan seorang raja. Dengan demikian raja tidak perlu khawatir dengan adanya pembangkangan. Rakyat tidak akan membangkang jika rakyat mencintai rajanya.
f. Hal yang membuktikan Machiavelli tidak sejahat yang dibayangkan orang adalah adanya seruan untuk peduli terhadap rakyat, karena kalau raja tidak perduli dengan rakyat maka raja akan dibenci oleh rakyatnya.
g. Selain itu Machiavelli juga menyarankan agar raja memperhatikan dan percaya terhadap orang-orang yang berbakat, dengan memberikan motivasi dan penghargaan terhadap orang itu. Dengan cara ini roda kehidupan akan berjalan dengan tenang, sehingga akan tercipta kemakmuran di tengah-tengah masyarakat. Pada akhirnya Machiavelli menyarankan raja agar membebaskan Italia dari penguasa Barbar. Untuk itu diperlukan pasukan rakyat diseluruh wilayah Italia untuk menghadapi bangsa Barbar.
Oleh karena dengan menggunakan fasilitas itu pasukan sendiri akan menjadi lebih baik. Mereka lebih setia dan mudah dipersatukan, dipimpin dan diurus oleh raja. Dengan demikian keadilan akan bisa diwujudkan di wilayah Italia di bawah suatu kepemimpinan. Hal itu diperjuangkan melalui perang, karena harapan hanya dapat diperoleh melalui perang, dan perang itu suci.
Buku ini merupakan anjuran yang diberikan kepada Raja Medici, karena setelah
Lorenzo meninggal kekuasaan berpindah ke tangan putranya yaitu Pietro De Medici dan seiring dengan peralihan kekuasaan Florence semakin memudar dan bahkan wilayah ini menjadi suatu wilayah yang tidak stabil. Oleh karena kekuasaan yang tidak normal pada waktu itu, penguasa tidak sekuat pendahulunya. Dari obsesi yang diuraikan Machiavelli disesuaikan dengan pengalamannya sendiri pada masa renaissance.
Obsesi Machiavelli bahwa tujuan politik adalah untuk memperkuat dan memperluas kekuasaan. Segala usaha untuk menyukseskan tujuan itu dapat dibenarkan legitimasi kekuasaan membenarkan segala teknis pemanipulasian dukungan masyarakat terhadap kekuasaan yang ada dan pemisahan antara prinsip, moral, dan etika. Prinsip-prinsip ketatanegaraan didasarkan pada adanya perbedaan antara moral dan tata susila merupakan suatu kemungkinan yang diharapkan, sedangkan ketatanegaraan adalah suatu ketatanegaraan yang dihadapi sehari-hari. Oleh karena itu, politik tidak perlu memperhatikan bidang moral.
Citra Machiavelli dalam pendapat umum bahwa ia merupakan politikus yang telah memisahkan agama dan moral. Politik yang kemudian ia cap sebagai orang yang tidak bermoral. Hal itu hanya didasarkan pada alasan-alasan oleh orang yang mengatakan bahwa ia adalah guru yang jahat. Sang penguasa yang ditulis oleh Machiavelli bertolak dari profil dan pola menajemen kekuasaan Cesare Borgia yang sepantasnya diterapkan untuk kehidupan ketatanegaraan Florence di masa depan. Harapan machiavelli dengan penulisan Principe II yaitu mencari seorang yang diharapkan dapat menjadi penguasa yang sebenarnya. Akan tetapi janganlah terburu-buru untuk menyimpulkan Machiavelli merupakan sosok seorang yang jahat, sehingga citranya menjadi buruk. Menurut penulis bahwa apa yang ditulisnya sesungguhnya ingin memberikan pemikirannya dalam politik ketatanegaraan Italia yang pada waktu itu dalam keadaan tidak stabil banyak penguasa yang korup dan rakus akan duniawi.
Para pakar mengemukakan bahwa penting sekali menjadikan pemikiran Machiavelli sebagai referensi untuk membahas masalah politik yang berhubungan dengan ketatanegaraan. Dengan mempraktekkan teori politiknya oleh negara-negara seperti yang dipimpin oleh Hitler dan Mussolini. Tokoh yang menganut fasisme terbesar abad ini yang sangat dipengaruhi oleh Machiavelli. Para penguasa di negara yang berbentuk demokrasi menerapkan ajaran-ajaran machiavelli tersebut.
Kesimpulan
Karya Machiavelli merupakan suatu bacaan yang kaya akan nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk bagi seorang penguasa dalam menjalankan ketatanegaraan. Sebenarnya kekuasaan yang ditulis dalam buku Principe II, merupakan pengalaman-pengalaman dari hasil yang didapatnya pada zaman itu ketika ia hidup dimasa renaissance, dan ia pun mencurahkan pemikiran-pemikirannya melalui sebuah tulisan.
Dengan bukunya Machiavelli mengharapkan dan berusaha mencari seorang pangeran atau bahkan seorang tokoh agama sekalupun yang dapat berperan sebagai seorang penguasa yang dapat mempersatukan Italia dan membawanya kepada kemegahan serta kemakmuran.
Menurut penguasa harus bertopang kepada suatu kekuasaan, yang mana kekuasaan itu harus dipupuk dan dikembangkan kalau memang ingin berhasil dalam memimpin suatu negara. Segala sesuatu yang membuat lemah kekuasaan harus segera dikesampingkan. Menurut Machiavelli, agama atau pemimpin agama yang memperlemah kekuasaan itu atau menggerogoti kekuasaannya maka harus segera pula dikesampingkan, demikian pula dengan ajaran moralitas yang mengajarkan kekuasaan adalah sebuah tindakan yang didasarkan pada perilaku dan tingkah laku penguasa itu sendiri.
Negara akan aman dan bertahan lama, bila penguasanya kuat. Untuk itu, penguasa tidak cukup berwatak pemberani, gagah perkasa apalagi hanya mengandalkan nasib mujur. Ia harus penuh perhitungan dan lihai menggunakan segala kesempatan.
Sebagian besar daftar isi buku Sang Penguasa di antaranya: 1. Berbagai Macam Kerajaan dan Cara Menegakkannya. VI. Wilayah-wilayah Baru yang disebut dengan Kekuatan Senjata dan Kemampuan Sendiri. VIII. Berkuasa dengan Jalan Kekejaman. XII. Organisasi Militer dan Pasukan Tentara. XIV. Kewajiban Raja Terhadap Angkatan Perang. XXI. Bagaimana Seorang Raja Harus Bertindak Untuk Tetap Disegani Rakyat
 Secara keseluruhan isi buku tersebut menunjukkan bagaimana seorang penguasa harus bertindak untuk merebut, mempertahankan, dan menghindari hilangnya kekuasaan.
Ajaran tentang penguasa ideal tersebut bersumber dari kisah Achilles, Sang pahlawan dalam legenda Yunani Kuno. Dalam kisah itu diceritakan bagaimana Achilles menjadi raja yang digjaya setelah menimba ilmu perang pada Chiron, mahluk setengah manusia setengah kuda.
Patuh pada hukum dan moral dianggap sebagai keharusan dan cara yang paling terpuji bagi penguasa. Akan tetapi cara ini terbukti seringkali tidak memadai untuk mengatasi masalah/kesulitan. Oleh karena itu, penguasa yang ingin sukses harus melengkapi diri dengan cara licik dan kejam yang biasa dipakai binatang dalam mempertahankan hidupnya, dan sanggup menerapkan cara-cara tersebut dengan tepat. Penguasa tidak boleh menyimpang dari sifat-sifat baik, tetapi jika perlu ia boleh memakai cara licik dan kejam.
Ajaran Machiavelli tersebut sesuai dengan pandangan umum masa Renaissance bahwa manusia dapat menentukan nasibnya sendiri. Seseorang bisa berhasil dalam hidupnya bila mengandalkan virtue (keutamaan), dan tidak lagi berharap pada fortune(kemujuran). Virtue dan Il Principe bisa diartikan sebagai sikap aktif penguasa demi efisiensi politik. Faktor penentu bagi tegak dan kukuhnya kekuasaan adalah kemampuan dan keterampilan penguasa. Penguasa yang baik harus mampu mengelola kemujuran dan menganggap kemujuran tak lebih dari kesempatan (chance).
Penguasa yang mengandalkan virtue lah yang akan membangkitkan kembali masa kejayaan Romawi, dan berkuasa di seluruh wilayah Italia. Inilah cita-cita pokok Machiavelli yang tertuang dalam bab XXVI, bab terakhir Il Principe. Saran untuk Membebaskan Italia dari Tangan Bangsa Barbar (Machiavelli, 1987: 105).
Pemikiran Machiavelli tersebut sebagai sikap jemu terhadap pertengkaran-pertengkaran doktrin. Machiavelli membuka jalan bagi pemikiran kekuasaan yang sekuler. Bagi Machiavelli, politik adalah seni dari kemungkinan. Machiavelli menerima bahwa baik dan jahat merupakan sifat-sifat yang dimiliki semua orang. Seorang penguasa yang berhasil harus merupakan “Sebagian Singa Sebagian Kancil” (Apter, 1996: 76-77).
Machiavelli juga bukan seorang yang Atheis, karena dapat dilihat dari pendapatnya tentang nasib dan takdir, walaupun itu hanya separuh dari perbuatan kita dan separuhnya lagi karena usaha kita sendiri. Selain itu, dilihat dari pendapatnya tentang agama Romawi Kuno yang lebih integratif, dan pendapatnya bahwa agama bermakna bila berguna bagi politik dan kekuasaan (Suhelmi, 2001: 139).
Machiavelli tidak begitu simpati pada gereja kristen, karena banyak kemerosotan-kemerosotan moral yang dilakukan oleh para pendeta yang bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut.

Pemikiran Machiavelli yang seperti hal-hal tersebut, membuat masyarakat berasumsi bahwa Machiavelli orang yang menganjurkan berbuat jahat dan mengabaikan nilai-nilai moralitas demi kekuasaan dan kelanggengan kekuasaan. Hanya saja Machiavelli mengeluarkan pendapatnya secara terang-terangan. Jadi pendapat masyarakat itu tidak sepenuhnya benar. 

Komentar

Postingan Populer